Selasa, 10 Februari 2015

Kontradiksi Implementasi Pemberdayaan KAKB Bagi Komunitas Waria




    NAMA    : RIKZA ABDUR ROUF
    NIM         : 14/364709/SP/26169
 
 
TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH ILMU SOSIAL DASAR

REVIEW FISIPOL’S RESEARCH DAYS 2014
9 Desember 2014

Kontradiksi Implementasi Pemberdayaan KAKB
(Keluarga Asuh Keluarga Binangun) Bagi Komunitas Waria

Pada kesempatan kali ini saya akan berusaha meresume atau mereview mengenai penelitian yang telah dipaparka oleh saudari Mutiara Ilma Islami tentang implementasi pemberdayaan KAKB bagi komunitas waria. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Mengenai latar belakang tentang penelitian ini, menurut peneliti mengatakan bahwa waria tersebut merupakan bagian dari PMKS dan juga bagian dari MDGs. Pertumbuhan waria sendiri yang dibilang positif atau meningkat namun kontradiksi terhadap ruang hidupnya di masyarakat. Dari latar belakang ini muncul pertanyaan besar mengapa waria-waria itu masih turun jalan padahal sudah ada program KAKB ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi kasus. Adapun pengambilan informannya sendiri dari lima anggota KAKB Komunitas Waria dan triangulasi kepada pihak pengurus PKBI (selaku fasilitator pemberdayaan), Pihak Dinas Koperasi dan UMKM Kulon Progo, Tim Pembina Posdaya Kulon Progo, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Desa dan Keluarga Bencana.
Pada pemaparan penelitian ini, peneliti menjelaskan bahwa adanya komunitas waria ini dapat menjadi sebuah wadah atau ruang bagi para waria tersebut. Karena dalam kehidupan di masyarakat sendiri para waria tersebut kurang mendapatkan tempat untuk dapat menyatu dan bersosialisasi secara  normal, sehingga dengan adanya komunitas waria mereka dapat berbagi antara satu dengan yang lain. Sedangkan posisi PKBI dalam hal ini sebagai jembatan yang menghubungkan antara waria-waria tersebut dengan masyarakat.
Menurut penelitiannya, waria-waria yang dijadikan objek peneliti itu bukan saja berasal dari Kulon Progo, tetapi juga berasal dari luar Kulon Progo. Alasan mengapa para waria tersebut lebih memilih Kulon Progo sebagai tempat aksinya menurut sumber karena Kulon Progo sendiri dalam hal persaingan antar waria sangat rendah dan sebagian mengatakan Kulon Progo sendiri membuat nyaman bagi mereka. Untuk latar belakang waria tersebut tidak seluruhnya memiliki pendidikan SD atau SMP namun sebagian dari mereka ada yang berpendidikan SMA dan SMK.
Dalam hal pemberdayaan untuk para waria sendiri dari program KAKB mengalami kegagalan untuk membuat para waria tersebut berhenti mengamen. Hal itu dikarenakan  oleh dua kebijakan yaitu policy content dan policy context.
Policy content menunjuk pada keempat stakeholders (PKBI Kulon Progo, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Bank Mandiri, dan Posdaya) dalam proses pemberdayaannya memiliki kepentingan masing-masing. Dan pengembangan KAKB itu sendiri lebih mendekati pendekatan charity tanpa proses pengembangan kapasitas dan kesadaran kritis. Sedangkan pada policy context menunjuk rendahnya rasa kesadaran waria terhadap pemberdayaan KAKB yang disebabkan oleh identifikasi parsial dalam pengambilan keputusan pemerintah. Di sisi lain rapuhnya komitmen pelaksana program KAKB komunitas waria tersebut disebabkan oleh tidak adanya pertumbuhan kemandirian yang kritis, peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi oleh peningkatan kemampuan, dan tidak adanya inovasi terhadap program tersebut.
Kesimpulan dari pemaparan penelitian ini adalah penyebab para waria yang masih turun jalan disebabkan karena masih rendahnya rasa kepemilikian para waria tersebut terhadap program pemberdayaan KAKB. Adanya simbiosis mutualisme yang aktif untuk mempermudah pencapaian kepentingan masing-masing sangat diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar